Kebijakan Fiskal dan Purbaya Effect
Oleh: Suparman *)

KABINET Merah Putih baru saja dirombak oleh Presiden Prabowo. Menteri Keuangan adalah pusat perhatian publik. Pergantian menteri keuangan bukan hanya sekedar pergeseran teknokrat. Ia menunjukkan arah ekonomi negara yang akan dianut. Mazhab pemikiran yang dijalankan. Purbaya Yudhi Sadewa mengambil alih Kementrian Keuangan setelah 14 tahun dipimpin oleh Sri Mulyani Indrawati, yang terkenal karena kebijakan yang hati-hati, disiplin fiskal, dan disegani pasar global. Sejak awal, Purbaya telah mengadopsi berbagai strategi, termasuk yang lebih agresif, ekspansif, dan berani mengambil risiko.
Semua orang tahu bahwa Sri Mulyani adalah contoh kredibilitas di Indonesia. Ia dianggap memiliki kemampuan untuk mengontrol defisit anggaran, menekan utang, mendorong reformasi pajak, dan meningkatkan transparansi fiskal. Dia sering disebut sebagai perwakilan "disiplin dan kepercayaan" di forum internasional seperti IMF, Bank Dunia, dan G20.
Semua orang sadar, bahwa Indonesia membutuhkan lebih dari sekedar kredibilitas. Selain itu, Indonesia menghadapi masalah ketimpangan yang meningkat, kebutuhan kerja, kehilangan kesempatan kerja, dan penurunan daya beli.
Purbaya hadir dengan sikap yang berbeda. Dengan janji untuk meningkatkan likuiditas kredit, dia berani mengambil kebijakan memindahkan Rp 200 triliun dana pemerintah dari Bank Indonesia ke bank himbara. Ia berpendapat bahwa kebijakan fiskal dan moneter yang kontraktif menyebabkan kekeringan likuiditas. Target pertumbuhan ekonomi dinaikkan ke angka ambisius sebesar 8%, jauh di atas proyeksi lembaga internasional. Indonesia tidak pernah lagi mengalami pertumbuhan ekonomi di atas 6% dalam sepuluh tahun terakhir.
Purbaya berujar Jangan percaya IMF, prediksi mereka sering keliru, bahkan terlalu pesimistis, seolah-olah ingin mengingatkan masyarakat. Sikap ini mengandung pesan bahwa pemerintah harus berani meninggalkan prediksi global dan percaya pada kekuatan domestik mereka sendiri.
Purbaya Effect dan Getaran Pasar
Apa yang terjadi setelah di Pasar setelah Purbaya berbicara lugas terkait arah kebijakan ekononomi nasional. Pasar sedikit mengalami guncangan. Pasar sempat limbung dan tidak stabil. Pelaku pasar menunggu konsistensi kebijakan, sementara Rupiah sempat melemah. IHSG juga turun.
Publik yang jenuh dengan cerita yang penuh kehati-hatian. Di sisi lain, Purbaya memberikan harapan baru. Kehidupan kelas menengah bawah mungkin dipengaruhi oleh stimulus baru, tunjangan lebih besar, dan likuiditas.
Di sinilah paradoks Purbaya Effect dinilai dapat meningkatkan harapan masyarakat tetapi sekaligus menimbulkan kecemasan pasar.
Dani Rodrik, seorang ekonom dari Universitas Harvard, mengingatkan, "Pasar mungkin menyukai disiplin, tetapi masyarakat membutuhkan kebijakan yang nyata memberi mereka kehidupan yang lebih baik." Mencari kesepakatan antara keduanya adalah tantangan.
Risiko dan Tantangan
Tidak ada kebijakan yang tidak mengandung risiko. Purbaya juga menyadari hal itu. Ia berulang kali menekankan bahwa defisit tidak boleh melebihi 3% dari PDB. Namun, bagaimana jika target penerimaan pajak tidak tercapai? Bagaimana jika pertumbuhan tidak sesuai dengan ekspektasi?
Risiko pertama adalah peningkatan defisit. Tanpa penerimaan yang memadai, belanja ekspansif dapat menghabiskan anggaran. Kedua, utang pemerintah meningkat. Utang Indonesia harus dikelola dengan hati-hati agar tidak menjadi beban bagi generasi mendatang, meskipun masih di bawah utang negara lain.
Ketiga, tingkat inflasi Stimulus besar mungkin meningkatkan permintaan, tetapi produksi dalam negeri mungkin belum siap untuk mengimbanginya. Keempat, keyakinan investor, adalah apa yang sering disebut para ekonom sebagai "overheating risk." Selama ini, stabilitas fiskal menarik investor asing ke Indonesia. Modal asing dapat keluar jika pasar menganggap kebijakan terlalu populis. Peraih Nobel Ekonomi Joseph Stiglitz mengatakan, "Pasar sering kali lebih peduli pada stabilitas jangka pendek daripada pembangunan jangka panjang." Pemerintah harus bijak dalam mengendalikan persepsi.
Sri Mulyani vs. Purbaya
Perbandingan keduanya menunjukkan perbedaan dalam paradigma. Seperti yang kita ketahui, Sri Mulyani konservatif dan berfokus pada menjaga kredibilitas fiskal dan reformasi struktural, seperti pajak, subsidi tepat sasaran, dan ekonomi hijau. Di sisi lain, Purbaya ekspansif, pro-pertumbuhan, menekankan daya beli masyarakat, dan siap untuk menggunakan stimulus besar. Purbaya memilih "menggairahkan rakyat", sedangkan Sri Mulyani dianggap "menenangkan pasar."
Dalam teori Keynesian, tindakan Purbaya dapat diterima. "Dalam masa kelesuan ekonomi, pemerintah tidak boleh pasif," kata John Maynard Keynes. Belanja publik harus memainkan peran utama.
Namun, pengalaman banyak negara menunjukkan bahwa stimulus yang tidak direncanakan dengan baik dapat berakibat negatif dan berdampak buruk. Misalnya, Brasil pada tahun 2010-an mengalami pertumbuhan ekonomi yang luar biasa berkat stimulus besar, tetapi kemudian jatuh ke dalam krisis fiskal. China, di sisi lain, dapat mempertahankan momentumnya, karena stimulus yang didukung oleh investasi produktif dalam bidang seperti jalan raya, kereta cepat, energi, dan teknologi.
Ekonom India peraih Nobel, Amartya Sen, mengingatkan, "Pembangunan bukan sekadar pertumbuhan angka PDB, melainkan penciptaan kapabilitas manusia." Pendidikan, kesehatan, dan kesempatan harus menjadi fokus investasi.
Jalan Tengah
Indonesia membutuhkan tidak terbatas pada disiplin Sri Mulyani atau agresi Purbaya. Jalan tengah diperlukan. Kami menawarkan ide kebijakan di mana, pertama, pengeluaran produktif. Stimulus harus menghasilkan kapasitas yang bertahan lama daripada konsumsi sesaat. Kedua, reformasi pajak masih dalam proses. Dengan digitalisasi, pajak karbon, dan peningkatan kepatuhan wajib pajak, basis penerimaan meningkat. Ketiga, pengelolaan utang transparan. Semua utang harus digunakan untuk investasi produktif, bukan subsidi jangka pendek. Keempat, kolaborasi moneter dan fiskal. Agar stabilitas moneter tidak terganggu oleh kebijakan likuiditas, Bank Indonesia dan Kemenkeu harus bekerja sama. Berkolaborasi dalam mengelola ekonomi yang lebih sehat dan progresif. Kelima, komunikasi publik harus jelas. Jumlah dan kepercayaan sangat penting untuk kredibilitas.
Purbaya Effect adalah eksperimen fiskal ditengah kelesuan ekonomi nasional karena adanya kebijakan efisiensi dan penghematan. Ia mungkin menjadi dorongan kuat untuk keluar dari jebakan pertumbuhan 5% dan memulai langkah baru. Namun, ada risiko yang menyertainya, seperti defisit fiskal yang meningkat, inflasi yang meningkat, dan penurunan kepercayaan investor.
Sejarah akan menentukan apakah Purbaya diingat sebagai seorang teknokrat fiskal yang berhasil memicu pertumbuhan baru, atau justru sebagai menteri yang memungkinkan terlalu banyak risiko karena kebijakan yang terkesan koboi (cowboy).
"Kebijakan fiskal yang baik adalah seni menyeimbangkan: cukup ekspansif untuk mendorong pertumbuhan, cukup disiplin untuk menjaga kepercayaan," kata ekonom MIT Olivier Blanchard. Indonesia saat ini menulis bab tersebut.
*Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tadulako
Apa Reaksimu?






