Guru Besar Ekonomi Untad: Hilirisasi Menjadi Nihilisasi

Guru Besar Bidang Ekonomi Internasional FEB-Universitas Tadulako (Untad), Muh Ahlis Djirimu mengatakan, secara umum eksistensi kawasan industri berbasis logam dasar nikel di Morowali, Sulawesi Tengah mempunyai plus minus bagi negara utamanya bagi masyarakat. 

Agustus 11, 2025 - 15:14
 0
Guru Besar Ekonomi Untad: Hilirisasi Menjadi Nihilisasi
Guru Besar Bidang Ekonomi Internasional FEB-Untad, Moh Ahlis Djirimu. (Foto: Ist)

PALU, METROSULAWESI.NET - Guru Besar Bidang Ekonomi Internasional FEB-Universitas Tadulako (Untad), Muh Ahlis Djirimu mengatakan, secara umum eksistensi kawasan industri berbasis logam dasar nikel di Morowali, Sulawesi Tengah mempunyai plus minus bagi negara utamanya bagi masyarakat. 

“Saya mencatat beberapa hal yang dapat didiskusikan yakni, 

pertama, cita-cita mulia yang memperoleh nilai tambah, nyatanya hanya memperoleh sekitar 25 persen,” kata Ahlis menjawab Metrosulawesi, Minggu 10 Agustus 2025. 

“Makna hilirisasi relatif menjadi nihilisasi,” tambahnya. 

Kedua lanjut Ahlis, tentang siapa yang menikmati. Perubahan tambang domestik membayar royalty 7,5 persen. Sedangkan perusahaan smelter masing bebas karena tax holiday hingga 25 tahun. 

Ketiga, perusahaan smelter asing bebas dari membayar pajak Pasal 25/29 Badan lagi-lagi karena tax holiday hingga 25 tahun dan seluruh labanya dibawa pulang. 

Ahlis mengatakan, perusahaan tambang lokal membayar pajak ekspor. Sebaliknya, perusahaan smelter bebas pajak ekspor lalu seluruh produksinya diekspor. 

“Hasilnya, sebagai pembanding, hingga Juni 2025, dominasi industri pengolahan Sulteng dalam Penerimaan Pajak yang tadinya menempati nomor 1 di tahun 2024 turun ke nomor 10 dalam penerimaan negara,” jelas Ahlis. 

Bila Juni 2024, lanjut Ahlis, penerimaan pajak dari industri pengolahan tanpa mengeluarkan migas meningkat dari Rp1,85 triliun pada Juni 2023 menjadi Rp2,71 triliun pada Juni 2024, yang kontribusinya mencapai 53,37 persen dan pertumbuhan penerimaan pajak mencapai 46,63 persen, maka Juni 2025, penerimaan pajak dari industri pengolahan terdegradasi ke posisi ke 10. 

“Pada Juni 2025, Penerimaan Perpajakan hanya meningkat absolut dari Rp37 miliar menjadi Rp38 miliar, atau hanya 1,4 persen dari Penerimaan Pajak Juni 2024,” ujar Ahlis. 

Menurut Ahlis, saat ini justru sektor perdagangan besar dan eceran mendominasinya penerimaan pajak yakni mencapai 38,71 persen. Secara mengejutkan, sektor pertanian yang tadinya menempati urutan kesepuluh, justru memberikan kontribusi 5,25 persen, berada di urutan keenam memberikan penerimaan pajak dari Rp66 miliar pada Juni 2024 menjadi Rp85 miliar pada Juni 2025. 

Hal yang keempat lanjutnya, harga produksi tambang yang dibeli perusahaan smelter sangat murah.

“Labanya lebih besar ketimbang smelter di negara asal. Karena itu, perubahaan smelter asing berbondong-bondong datang ke negara kita, termasuk di Morowali dan Morut,” katanya. 

Kelima, perusahaan tambang domestik membayar. Hanya impor mesin pra-fabrikasi yang bebas bea masuk, sedangkan barang impor lainnya oleh perusahaan smelter tetap dikenakan bea masuk.

“Lalu bagaimana dampaknya pada daerah pertambangan?,” tanya Ahlis

Memang kata Ahlis, pendapatan perkapita di Morowali mencapai Rp500 juta dan Morut mencapai Rp100 juta, dan berbondong-bondong pencari kerja ke daerah tersebut.

“Namun, ini hanya fatamorgana atau miopic phenomenon karena besarnya pendapatan perkapita tidak mencerminkan kesejahteraan masyarakat tersebut,” jelasnya. 

Ahlis juga menyoroti soal lingkungan. Kongesti dan kesemrawutan lalu lintas, pelanggaran atas tata ruang darat dan laut menjadi pemandangan harian. Tekanan psikis dan beban kerja, serta ISPA membuat para tenaga kerja hanya bertahan kurang dari 10 tahun. 

Ancaman bencana lingkungan di Teluk Tolo di depan mata karena penggunaan Rotary Kiln Eletric Furnace (RKEF) atau Tungku Pembakar Berputar2 dengan moncong tungku ke udara menimbulkan polusi menjadi penyebab ISPA. Cita-cita kendaraan listrik menggunakan Nickel Mangan Cobalt (NMC) dikalahkan oleh Lithium Ferro Phospat (LFP) yang lebih ramah lingkungan. 

Ahlis mengatakan, daerah di pesisir Teluk Tolo warisan kekayaan hayati yang tak ternilai dari masa operation drake tak berbeda dengan Kawasan Salarde de Atacama di Pasifik Timur Amerika Latin, walaupun produknya berbeda, yakni garam "Lithium" bahan baku baterai HP. 

“Inilah fenomena ‘Pertumbuhan Membenam’ meminjam istilah Profesor Jagdish Bhagwati, ahli Ekonomi Internasional atau "Nadi Menganga" di Amerika Latin, isitilah mendiang Hugo Chavez,” pungkasnya.

Reporter: Udin Salim 

Apa Reaksimu?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow