New York Declaration: Harapan yang Sulit Dibuktikan

Oleh: Mohsen Hasan A., Pemerhati Sosial, Politik, Budaya, Isu Global - Dewan Pakar DPP Partai NasDem

Sep 18, 2025 - 20:10
 0
New York Declaration: Harapan yang Sulit Dibuktikan
Majelis Umum PBB akan memberikan suara untuk mendukung “Deklarasi New York,” sebuah resolusi yang bertujuan untuk memberikan nafas baru bagi solusi dua negara antara Israel dan Palestina. FOTO: UN

SIDANG Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Jumat, 12 September 2025, melahirkan sebuah dokumen yang dielu-elukkan: New York Declaration on the Peaceful Settlement of the Question of Palestine and the Implementation of the Two-State Solution. Dengan 142 suara mendukung, dunia seolah kembali mengamini cita-cita lama: berdirinya negara Palestina yang merdeka, berdampingan damai dengan Israel.

Namun, di balik gegap gempita diplomasi, pertanyaan besar segera menyeruak: apakah deklarasi ini benar-benar bisa dibuktikan di lapangan, atau hanya menjadi lembaran kertas yang menambah daftar panjang janji kosong untuk Palestina?

Deklarasi Bersejarah, tapi Tidak Mengikat

New York Declaration memang terlihat monumental. Ia menuntut langkah-langkah nyata, berbatas waktu, dan “tidak dapat dibalikkan” menuju solusi dua negara. Ada pula seruan penghentian kekerasan, pembebasan sandera, rekonstruksi Gaza, hingga penghentian pembangunan pemukiman ilegal Israel.

Namun harus diingat, deklarasi ini dihasilkan oleh Sidang Umum PBB, yang sifatnya tidak mengikat secara hukum. Tidak ada kewajiban bagi negara yang menolak-terutama Israel dan Amerika Serikat-untuk mematuhinya. Sejarah sudah membuktikan, puluhan resolusi serupa sejak 1947 hingga kini jarang berbuah manis karena kekosongan mekanisme penegakan.

Veto Amerika, Tembok Keras Palestina

Realitas politik internasional menempatkan Palestina dalam posisi sulit. Meski mayoritas dunia mendukung, jalan menuju implementasi harus melewati Dewan Keamanan PBB, tempat Amerika Serikat memegang hak veto. Washington berkali-kali membuktikan kesetiaannya kepada Tel Aviv, sehingga hampir mustahil  New York Declaration bisa naik kelas menjadi resolusi yang benar-benar mengikat.

 

Inilah paradoks klasik: legitimasi moral ada di tangan Palestina, tetapi kekuatan politik global tetap dikunci oleh Israel dan sekutunya.

Luka Internal Palestina

Deklarasi juga menuntut sesuatu yang tidak sederhana: Hamas diminta menyerahkan senjata dan melepas kendali atas Gaza, lalu memberikan otoritas penuh kepada Pemerintah Palestina. Syarat ini tampak ideal di atas kertas, namun pada kenyataannya, perpecahan politik Palestina sudah berlangsung hampir dua dekade.

Tanpa rekonsiliasi internal, deklarasi ini sulit diimplementasikan. Bahkan, bisa jadi ia justru memperuncing perbedaan—karena ada faksi yang melihatnya sebagai tekanan asing yang memaksakan format tertentu.

Janji Indah, Risiko Kekecewaan

Janji dalam deklarasi ini memang terdengar manis: langkah konkret, berbatas waktu, dan “irreversible”. Namun publik internasional sudah kenyang dengan janji serupa yang berakhir di ruang arsip PBB. Setiap kali janji gagal ditepati, kekecewaan rakyat Palestina makin dalam, sementara kepercayaan terhadap diplomasi global makin terkikis.

Alih-alih menjadi cahaya harapan, deklarasi semacam ini justru berisiko menambah sinisme. Dunia seakan bicara tentang perdamaian, tapi di Gaza dan Tepi Barat, suara yang lebih lantang tetaplah suara bom dan tembakan.

Risiko Reaksi Balik Israel

Deklarasi ini pun bisa memicu reaksi berlawanan. Israel, yang terang-terangan menolak solusi dua negara versi PBB, bisa mempercepat pembangunan pemukiman atau memperketat blokade. Situasi ini justru berpotensi memperburuk kondisi di lapangan, alih-alih meredakan konflik.

New York Declaration adalah simbol kuat bahwa mayoritas dunia masih percaya pada solusi dua negara. Tetapi tanpa mekanisme penegakan, tanpa kesediaan Israel dan Amerika Serikat untuk bergeser, serta tanpa rekonsiliasi internal Palestina, ia berisiko besar menjadi “dokumen indah yang tak terbukti”.

Palestina mungkin kembali memperoleh legitimasi internasional. Namun legitimasi tanpa implementasi hanyalah retorika. Dan rakyat Palestina sudah terlalu lama menjadi korban dari retorika semacam ini.

Meski pesimis, bukan berarti harapan mati. Deklarasi ini bisa menjadi titik pijak baru jika negara-negara pendukung benar-benar konsisten. Mereka bisa menekan lewat embargo ekonomi, syarat bantuan internasional, hingga pengakuan sepihak  terhadap negara Palestina. Jika itu terjadi, maka New York Declaration mungkin bisa keluar dari statusnya sebagai simbol, menjadi bukti sejarah.

Namun hingga saat itu tiba, ia tetap lebih mirip sebuah cahaya samar di ujung lorong panjang penderitaan Palestina—indah dilihat, tapi sulit disentuh. (*)

Jakarta  16 September 2025

Apa Reaksimu?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow