Kinerja Fiskal Sulteng Juli 2025: Memacu Potensi PAD, Review Belanja, Antisipasi Efisiensi 2026

Oleh: Moh. Ahlis Djirimu*

Sep 9, 2025 - 16:28
 0
Kinerja Fiskal Sulteng Juli 2025: Memacu Potensi PAD, Review Belanja, Antisipasi Efisiensi 2026
Oleh: Moh. Ahlis Djirimu. FOTO: DOK METROSULAWESI

SULAWESI TENGAH merupakan satu dari beberapa daerah yang mengandalkan APBN dan APBD dalam pembiayaan Pembangunan. Betapa tidak, 94 persen sumber dana Pembangunan berasal dari anggaran negara. Investasi hanya memberikan daya pacu perekonomian sebesar 5 persen dan konsumsi rumah tangga tidak sampai 1 persen. Artinya, bila anggaran negara menurun 50 persen, maka daerah ini akan tanpa Pembangunan, karena hanya cukup membayar gaji pegawai.

 Efisiensi sesuai Peraturan Kementrian keuangan Nomor 56 Tahun 2025 yang menyasar pada 15 item belanja seperti Alat Tulis Kantor (ATK), Perjalanan Dinas, acara-cara seremonial, dan lain-lain seharusnya membuat Provinsi Sulteng dan 13 daerah berpikir dua hal. Pertama, melakukan spending review atas belanja-belanja yang selama ini boros nan tak berkualitas pada Provinsi Sulteng, Donggala, Buol, Tolitoli, Sigi, Parigi Moutong, Poso dan Tojo Una-Una. Sebaliknya, Provinsi Sulteng dan 7 kabupaten/kota ini mempunyai kapasitas fiskal rendah. Hal ini bermakna, baik provinsi Sulteng maupun daerah-daerah tersebut termasuk kategori “miskin nan boros”. Adanya efisiensi ini sepatutnya mendorong daerah untuk mengoptimalkan sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) maupun melakukan spending review. Lebih jauh lagi, re-sentralisasi fiskal yang ditandai oleh efisiensi jilid II akan membuat para “petarung pilkada” berpikir ulang untuk maju dalam kontestasi politik lima tahunan. Kedua, pemerintah daerah melakukan revieu belanja agar tepat sasaran, tepat waktu, tepat mutu, tepat administrasi, serta memberikan dampak ganda bagi perekonomian.

 

APBN di Sulteng


Realisasi Penerimaan Perpajakan di Provinsi Sulteng pada Juli 2025 nyaris belum berubah, tetap ditempati oleh KPP Pratama Palu, KPP Pratama Poso, KPP Pratama Luwuk, serta KPP Pratama Tolitoli. Realisasi Perpajakan tersebut menunjukkan ciri khas masing-masing perekonomian berbasis Perdagangan dan Jasa, Hilirisasi Industri Pengolahan berbasis logam dasar, perekonomian berbasis pertambangan gas alam dan perdagangan, serta, sumber Penerimaan Perpajakan berbasis pada Sektor Pertanian dalam arti luas. Realisasi tersebut mencapai Rp1,796,614,544,515,- (Rp1,80,- triliun). Realisasi ini, berada di bawah realisasi Juli 2024 mencapai Rp2,093,252,482,856,- atau lebih rendah yang pertumbuhannya mencapai minus 14,17 persen. Realisasi terbesar secara absolut terjadi pada KPP Pratama Kota Palu mencapai Rp852,124,490,556,- (Rp852,12,- miliar), namun proporsi pertumbuhannya terkontraksi mencapai minus 21,66 persen dari realisasi Juli 2024 mencapai Rp1,087,697,860,713,-. Realisasi Penerimaan Perpajakan terbesar kedua dicapai oleh KPP Pratama Poso yang mencapai Rp519,016,652,094,- (Rp519,02,- miliar) atau pertumbuhannya positif mencapai 2,03 persen dari realisasi Juli 2024 sebesar Rp508,711,616,229,- (Rp508,71,- miliar). Selanjutnya, realisasi Penerimaan Perpajakan di Kabupaten Poso ini menempati proporsi tertinggi dari target yakni mencapai 41,57 persen. Realisasi Penerimaan Perpajakan tertinggi ketiga dicapai oleh KPP Pratama Luwuk mencapai Rp272,365,729,727,- (Rp272,36,- miliar), namun, capaiannya berada di posisi tertinggi kedua yakni 39,24 persen terhadap realisasi Juli 2024 sebesar Rp277,980,776,047,- Realisasi paling rendah Penerimaan Perpajakan melalui KPP Pratama Kabupaten Tolitoli mencapai Rp153,107,672,138,- lebih rendah ketimbang realisasi bulan yang sama pada Juli 2024 yang mencapai Rp218,862,229,867,- atau laju pertumbuhannya month-to-month mencapai minus 30,04 persen. Rendahnya realisasi Penerimaan Perpajakan yang di bawah target absolut ini di empat KPP yakni KPP Kota Palu, KPP Poso, KPP Luwuk, KPP Tolitoli patut dikaji letak masalahnya. Jumlah penduduk bertambah, obyek pasti yang dikenai pajak dan restribusi juga bertambah, tetapi masyarakat Sulteng saat ini telah menggunakan Tabungan berjaga-jaga (precautionary saving) erat kaitannya dengan melemahnya daya beli masyarakat yang tercermin dari melemahnya kenaikan pendapatan perkapita yang disesuaikan atau purchasing power parity. Sebaliknya, ciri khas Kabupaten Tolitoli dan Kabupaten Buol yang menjadi wilayah kerja KPP Pratama Tolitoli sebagai daerah monokultur cengkih dan wilayah pangan dan hortikultura, serta perikanan membawa plus minus Kabupaten Tolitoli dan Kabupaten Buol. Plusnya adalah, sebagai daerah yang didominasi Sektor Pertanian dalam arti luas, permintaan atas pangan menjadi daerah ini patut menjadi wilayah Cadangan Pangan Daerah. Tetapi, pada sisi negatifnya, kondisi melemahnya pendapatan masyarakat dapat mempengaruhi kinerja Penerimaan Negara dari sektor perpajakan di daerah ini. Solusi memperkuat kerjasama antar daerah di pesisir Timur Kalimantan dan dengan daerah Tawau di Malaysia Timur dan wilayah Selatan Filipina menjadi alternatif dalam kerangka kerjasama Brunei-Indonesia- Malaysia-Philipina East Asean Economic Growth (BIMP-EAGA), maupun Kaukus Kerjasama Asia Timur maupun Asia pacific Economic Cooperation (APEC).

Realisasi Pajak Penghasilan (PPh) mencapai Rp508,771,497,190,- (Rp508,77,- miliar) atau kontribusinya terhadap target mencapai 28,32 persen, namun pertumbuhannya menurun sebesar minus 25,61 persen. Realisasi PPh pada Juli 2025 lebih rendah dari realisasi Juli 2024 mencapai Rp683,927,006,486,- (Rp683,93,- miliar). Realisasi PPh Non Migas pada Juli 2025 mencapai Rp508,771,497,190,- (Rp508,77,- miliar). Realisasi ini lebih rendah dari realisasi PPh Non Migas pada Juli 2024 yang mencapai Rp683,927,006,486,- (Rp683,93,- miliar). Pada komponen PPh Non Migas, hanya terdapat satu sub komponen meningkat yakni PPh Pasal 22 Impor yang meningkat dari Rp1,360,499,299,- pada Juli 2024 menjadi Rp5,170,951,825,- atau mengalami kenaikan 280,08 persen, walaupun proporsinya kecil yakni 0,29 persen. Sebaliknya, lima sub komponen PPh Non Migas mengalami penurunan pertumbuhan negatif dan dua sub komponen PPh Non Migas tidak mengalami kenaikan atau stagnan. Realisasi absolut terbesar terjadi pada PPh Pasal 25/29 Badan mencapai Rp223,196,225,953,- (Rp223,20,- miliar). Realisasi ini menurun sebesar minus 3,03 persen dari Rp230,169,009,047,- (Rp230,01,- miliar) pada Juli 2024 yang kontribusinya mencapai 12,42 persen. Realisasi penerimaan PPh terbesar kedua relatif terjadi pada sub komponen PPh Pasal 21 mencapai Rp112,123,017,359,- (Rp112,12,- miliar) lebih rendah dari realisasi komponen PPh Pasal 21 pada Juli 2024 yakni Rp256,865,554,786,- (Rp256,86,- miliar) atau mengalami penurunan sebesar minus 56,35 persen dan kontribusinya di dalam PPh Non Migas mencapai 6,24 persen. Realisasi Sub Komponen PPh Final menempati urutan ketiga mencapai Rp76,320,811,941,- (Rp76,32,- miliar) pada Juli 2025, yang pertumbuhannya menurun minus 29,69 persen dan kontribusinya sebesar 4,25 persen dari realisasi Juli 2024 yang mencapai Rp108,552,694,695,- (Rp108,55,- miliar). Realisasi Sub Komponen PPh Pasal 23 menempati urutan terbesar keempat dalam PPh Non Migas pada Juli 2025 mencapai Rp51,093,916,097,- (Rp51,09,- miliar) lebih tinggi ketimbang realisasi PPh Pasal 23 pada Juli 2024 mencapai Rp44,867,323,206,- (Rp44,87,- miliar) atau capaiannya mengalami kenaikan sebesar 13,08 persen dan kontribusinyanya mencapai 2,84 persen dalam PPh Non Migas. Realisasi PPh Pasal 25/29 OP menempati urutan kelima mengalami juga kenaikan sebesar Rp28,778,134,635,- (Rp28,78,- miliar) pada Juli 2025 dari Rp20,939,833,972,- (Rp20,94,- miliar) atau mengalami kenaikan sebesar 37,43 persen dan kontribusinya mencapai 1,60 persen. Realisasi keenam dalam PPh Non Migas Adalah Pasal 22 walaupun menurun dari Rp18,474,616,117,- (Rp18,47,- miliar) pada Juli 2024 menjadi Rp11,045,525,094,- (Rp11,04,- miliar) atau pertumbuhannya menurun sebesar minus 40,21 persen dan kontribusinya mencapai 0,61 persen. Realisasi ketujuh adalah Non Migas Lainnya mencapai Rp69,000,-

Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dan PPn Barang Mewah (PPNBM) mengalami penurunan dari Rp1,399,835,961,713,- (Rp1,4,- triliun) pada Juli 2024 menjadi Rp1,102,275,613,325,- (Rp1,10,- triliun) pada Juli 2025 atau mengalami penurunan sebesar minus 21,26 persen. Namun, kontribusinya tetap terbesar dalam Penerimaan Negara Sektor Perpajakan yakni sebesar 61,35 persen. Dominasi oleh PPn Dalam Negeri tetap di urutan pertama dalam PPn dan PPnBM, walaupun menurun secara absolut dari Rp1,396,835,961,713,- (Rp1,40,- triliun) pada Juli 2024 menjadi Rp1,084,625,273,745,- (Rp1,08,- triliun) pada Juli 2025 atau mengalami penurunan sebesar minus 22,33 persen, tetapi kontribusinya tetap tinggi yakni mencapai 60,37 persen dalam Penerimaan Pajak Bulan Juli 2025. Tiga Sub Komponen penyumbang dalam PPn dan PPnBM, walaupun kecil kontribusinya adalah PPn Impor mengalami kenaikan dari Rp2,544,773,044,- (Rp2,54,- miliar) pada Juli 2024, menjadi Rp12,935,414,942,- (Rp12,94,- miliar) pada Juli 2025 atau mengalami pertumbuhan sebesar 408,31 persen dan kontribusinya mencapai 0,72 persen. PPn Barang Mewah Dalam Negeri meningkat dari Rp345,121,293,- (Rp345,12,- juta) pada Juli 2024 menjadi Rp1,622,444,378,- (Rp1,62,- miliar) pada Juli 2025 atau mengalami kenaikan sebesar 370,11 persen dan kontribusinya mencapai 0,09 persen dalam Penerimaan Pajak bulan Juli 2025. PPn BM Lainnya berada di urutan ketiga penerimaan negara dalam PPn dan PPNBM mengalami juga kenaikan dari Rp753,946,-(Rp753,95,- juta) pada Juli 2024 menjadi Rp2,493,793,836,- (Rp2,49,- miliar) pada Juli 2025 atau pertumbuhannya meningkat sebesar 330665,58 persen dan kontribusinya pada Penerimaan Pajak pada Juli 2025 sebesar 0,14 persen.

Sub Komponen PPn yang terealisasi hanya pada Juli 2025 yakni PPn Barang Mewah Impor sebesar Rp34,311,047,- sedangkan, PPn Barang Dalam Negeri Ditanggung Pemerintah (DTP), belum terealisasi hingga Juli 2025. Sebaliknya, Sub Komponen PPn dan PPn BM yang mengalami penurunan absolut yakni PPN Dalam Negeri menurun dari Rp1,396,379,639,603,- pada Juli 2024 menjadi Rp1,084,625,273,745,- atau mengalami penurunan sebesar minus 22,33 persen dan kontribusinya tetap besar yakni 61,37 persen. Sub Komponen PPn Lainnya mengalami penurunan dari Rp565,673,827- pada Juli 2024 menjadi Rp564,375,377,- atau mengalami penurunan sebesar minus 0,23 persen dan kontribusinya mencapai 0,03 persen.

Realisasi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) menurun dari Rp8,632,761,921,- (Rp8,63,- miliar) pada Juli 2024 menjadi Rp6,157,749,224,- (Rp6,16,- miliar) pada Juli 2025 atau mengalami penurunan sebesar minus 28,67 persen dan kontribusinya mencapai 0,34 persen dalam Penerimaan Pajak Juli 2025. 

Pendapatan PPh Ditanggung Pemerintah (PPh DTP) belum terealisasi pada Juli 2025. Pajak Lainnya mengalami rekor kenaikan tertinggi dari Rp856,752,736,- (Rp856,75,- juta) pada Juli 2024 menjadi Rp179,409,684,776,- (Rp179,41,- miliar) pada Juli 2025 atau terjadi kenaikan sebesar 20840,66 persen dan kontribusinya dalam Penerimaan Pajak Negara mencapai 9,99 persen. Pajak Penghasilan Minyak Bumi dan Gas pada Juli 2025 belum terealisasi.

Secara keseluruhan, realisasi Penerimaan Perpajakan bulanan pada Juli 2025, mengalami penurunan dari Rp2,093,252,482,856,- (Rp2,09,- triliun) pada Juli 2024 menurun menjadi Rp1,796,614,544,515,- (Rp1,80,- triliun) pada Juli 2025 atau mengalami penurunan sebesar minus 14,17 persen;

Struktur perekonomian Sulteng dari sisi 10 Sektor Penerimaan Pajak Tertinggi per Juli 2025 mengalami perubahan berarti dalam Penerimaan Perpajakan. Dominasi dan posisi Sektor Industri Pengolahan digeser oleh Sektor Perdagangan Besar dan Eceran yang walaupun menurun dari Rp806,71,- miliar pada Juli 2024 menjadi Rp746,69,- miliar pada Juli 2025. Kontribusi Sektor Perdagangan Besar dan Eceran dalam Penerimaan Pajak mencapai 41,56 persen, walaupun mengalami penurunan pertumbuhan sebesar minus 7,44 persen, lalu diikuti oleh Sektor Administrasi Pemerintahan yang nominal Penerimaan Perpajakan menurun dari Rp599,63,- miliar pada Juli 2024 menjadi Rp396,90,- miliar pada Juli 2025 dan kontribusinya mencapai 22,09 persen, namun mengalami penurunan pertumbuhan sebesar minus 33,81 persen. Sektor ketiga mendominasi Penerimaan Perpajakan Negara adalah Sektor Pertambangan dan Penggalian yang Penerimaan Perpajakannya meningkat dari Rp124,56,- miliar pada Juli 2024 menjadi Rp128,91,- miliar pada Juli 2025 atau kontribusinya dalam struktur Penerimaan Perpajakan mencapai 7,18 persen dan pertumbuhannya meningkat sebesar 3,49 persen. Sektor keempat adalah Sektor Jasa Persewaan mengalami kenaikan Penerimaan Perpajakan dari Rp101,14,- miliar pada Juli 2024 menjadi Rp127,20,- miliar pada Juli 2025, yang kontribusinya dalam Penerimaan Perpajakan pada Juli 2025 tersebut mencapai 7,08 persen, serta pertumbuhannya mencapai 25,77 persen. Sektor kelima dalam Penerimaan Struktur Penerimaan Perpajakan adalah Sektor Pertanian, Kehutanan, Perikanan yang meningkat dari Rp76,94,- miliar pada Juli 2024 menjadi Rp100,91,- miliar pada Juli 2025. Kontribusi Sektor Pertanian tersebut mencapai 5,59 persen dan mengalami pertumbuhan tertinggi pada Juli 2025 sebesar 30,64 persen. Sektor Jasa Keuangan menempati posisi keenam Adalah Sektor Aktivitas Keuangan dan Asuransi mengalami kenaikan Penerimaan Perpajakan dari Rp88,89,- miliar pada Juli 2024 menjadi Rp91,46,- miliar pada Juli 2025, dan kontribusinya mencapai 5,09 persen. Pertumbuhan Penerimaan Perpajakannya mengalami peningkatan sebesar 2,89 persen. Sektor Transportasi dan Pergudangan menempati urutan ketujuh kontribusinya dalam Penerimaan Perpajakan yang meningkat dari Rp52,04,- miliar pada Juli 2024 menjadi stagnan Rp52,37,- miliar pada Juli 2025. Kontribusinya dalam struktur Penerimaan Perpajakan mencapai 2,97 persen, serta mengalami kenaikan pertumbuhan Penerimaan Perpajakan sebesar 2,55 persen. Sektor Pejabat Negara dan Karyawan menempati urutan kedelapan yakni Penerimaan Perpajakan menurun dari Rp73,80- miliar pada Juli 2024 menjadi Rp48,45,- miliar pada Juli 2025, dan proporsinya dalam struktur Penerimaan Perpajakan mencapai 2,70 persen, serta pertumbuhan Penerimaan Pajaknya menurun sebesar minus 34,35 persen. Penerimaan Perpajakan pada Sektor Industri Pengolahan menempati urutan kesembilan, mengalami menaikan dari sebesar Rp10,40,- miliar dari Juli 2024,- menjadi Rp25,68,- miliar pada Juli 2025. Kontribusi Sektor Industri Pengolahan dalam struktur Penerimaan Perpajakan mencapai 1,3 persen dan laju pertumbuhan Penerimaan Perpajakan dari Sektor Industri pengolahan mengalami pertumbuhan sebesar 146,91 persen. Hal yang mengejutkan terjadi pada Sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan yang naik dari posisi kesepuluh menjadi kelima. Hal ini menunjukkan bahwa Sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan merupakan masa depan Sulteng dan berperan strategis dalam kedaulatan pangan daerah ini. Beberapa tahun sebelumnya, Sektor Pertanian berada pada posisi kesepuluh dalam Penerimaan Perpajakan.

Pada Tahun 2025, penerimaan Bea dan Cukai di Sulawesi Tengah diproyeksikan mencapai Rp1,91,- triliun, sedangkan realisasinya pada Juli 2025 mencapai Rp1,29,- triliun atau 67,30 persen dari target Rp1,91,- triliun tersebut. Realisasi pada bulan Juli 2025 mencapai Rp183,24,- miliar lebih tinggi daripada realisasi Juli 2024 yang mencapai Rp137,26,- miliar atau lebih tinggi 33,49 persen year-on-year atau realisasi 11 persen month-to-month. Realisasi tersebut mencakup Penerimaan Satuan Kerja Kantor Bea Cukai Pantoloan mencapai Rp1,08,- miliar atau proporsinya 0,08 persen, Penerimaan pada Satuan Kerja Kantor Bea Cukai Morowali mencapai Rp1,289,57,- miliar atau proporsinya 99,88 persen dan pada Satuan Kerja KPPBC TMP C Luwuk mencapai Rp388,77,- juta atau proporsinya sebesar 0,03 persen;

Komoditas yang menyumbang penerimaan Bea Masuk terbesar berasal dari Bangunan Prafabrikasi pada Juli 2025 secara absolut mencapai Rp457,37,- miliar. Kontribusi Bangunan Prafabrikasi tersebut mencapai 42,39 persen, namun, realisasi tersebut lebih rendah dari Juli 2024 mencapai Rp461,95,- miliar yang tentu saja pertumbuhannya mencapai 1 persen. Komoditi menyumbang kedua dalam Penerimaan Bea Masuk terbesar adalah Pembuluh, Pipa dan Profil Berongga meningkat dari sebesar Rp49,40,- miliar pada Juli 2024 menjadi Rp191,63,- miliar pada Juli 2025 atau pertumbuhannya mencapai 287,96 persen. Proporsinya dalam Penerimaan Bea Masuk mencapai 17,59 persen. Penerimaan Bea Masuk Kawat Diisolasi, Kabel dan Konduktor Listrik menempati urutan ketiga terbesar yang mengalami peningkatan dari sebesar Rp90,11,- miliar pada Juli 2024 menjadi Rp128,12,- miliar yang pertumbuhannya mencapai 42,11 persen. Kontribusinya dalam Penerimaan Bea Masuk sebesar 11,76 persen.

Penerimaan terbesar PNBP sampai dengan Juli 2025 mencapai Rp653,68,- miliar atau pertumbuhannya mengalami peningkatan sebesar 11,48 persen year-on-year. Penerimaan PNBP terbesar berasal dari Kementrian Lembaga berikut: BKKBN sebesar Rp232,54,- miliar, BPKD sebesar Rp162,36,- miliar, Kementerian Agama sebesar Rp134,48,- miliar, Kementrian Perdagangan sebesar Rp124,07,- miliar. Biasanya, PNBP terbesar disumbangkan oleh Untad. Namun, kali ini sisi rapuh penerimaan dari uang Kuliah Tunggal (UKT) yang hanya menjadi satu-satunya sumber dalam PNBP akan menjadi tantangan menuju Perguruan Tinggi Badan Hukum (PTNBH) yang wajib mandiri.

Pendapatan Negara per 31 Juli 2025 mencatatkan nominal sebesar Rp4,531,55,- miliar (Rp4,53,- triliun) atau 60,29 persen dari pagu sebesar Rp7,512,6,- (Rp7,51,- triliun). Capaian belanja berada di angka Rp12,414,66,- miliar (Rp12,41,- triliun) yang sebagian besar disumbang oleh penyaluran Transfer Ke Daerah (TKD), sebesar Rp9,443,74,- miliar (Rp9,43,- triliun) atau 48,77 persen dari pagu. Perkiraan defisit regional sampai dengan Juli 2025 sekitar minus Rp19,529,53,- miliar (-Rp19,53,- triliun), yang realisasinya mencapai minus Rp7,883,11,- miliar (-Rp7,88,- triliun) atau proporsinya sebesar 40,37 persen dari pagu. Hal ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar komponen mengalami konstraksi di awal Tahun 2025. Penghematan belanja perjalanan dinas telah terlihat dengan adanya kontraksi pada belanja barang. Dampak selanjutnya adalah terdapat potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi pada triwulan I dan II Tahun Anggaran 2025 sebagai akibat atas menurunnya realisasi sebagai respon atas efisiensi anggaran. Fokus anggaran Tahun 2025 mengalami perbedaan, dari mendorong pembangunan infrastruktur pada Tahun 2024 menjadi peningkatan kualitas dan ketahanan pangan. Komponen belanja dengan pertumbuhan positif dicatatkan oleh akun Belanja Pegawai, dan Insentif Daerah. Penyaluran DAK Fisik Tahap I diperkirakan akan terjadi mulai Triwulan II TA 2025 seiring dengan juknis penyaluran DAK Fisik yang telah terbit pada triwulan I dan koordinasi yang telah dilakukan KPPN dengan BPKAD pemda terkait. Pemerintah membuka blokir anggaran belanja untuk menciptakan potensi pertumbuhan ekonomi di triwulan II TA 2025. Realisasi PNBP pada Juli 2025 mencapai Rp653,68 miliar lebih rendah dari target sebesar Rp712,27,- miliar atau proporsinya mencapai 91,01 persen dari target.

Dalam sub Komponen Pajak Dalam Negeri, hingga 31 Juli 2025, Pajak Penghasilan (PPh) terealisasi sebesar Rp693,09,- miliar atau proporsinya 41,94 persen dari pagu sebesar Rp1,652,50,- miliar. Pajak Pertambahan Nilai (PPn) terealisasi sebesar Rp1,672,35,- miliar atau proporsinya 52,15 persen dari pagu sebesar Rp3,206,86,- miliar. Baik PPh maupun PPn diperkirakan belum tercapai hingga akhir Tahun 2025. 

Komponen Belanja Negara mengalami penurunan dari Rp14,077,06,- (Rp14,08,- triliun) pada Juli 2024 menjadi Rp12,414,66,- miliar (Rp12,41,- triliun) pada Juli 2025 atau mengalami penurunan sebesar minus 11,81 persen. Sub Komponen Belanja Pemerintah Pusat (BPP) menurun dari Rp4,293,19,- miliar (Rp4,29,- triliun) pada Juli 2024 menjadi Rp2,970,93,- miliar (Rp2,97,- triliun) atau terkontraksi minus 30,80 persen. Dalam Belanja Pemerintah Pusat (BPP), terdapat empat Sub Komponen meliputi Belanja Pegawai, Belanja Barang, Belanja Modal, Belanja Bantuan Sosial. Belanja Barang mengalami penurunan dari Rp1,953,74,- miliar pada Juli 2024 menjadi Rp1,000,09,- pada Juli 2025. Belanja Modal mengalami penurunan dari Rp604,39,- miliar pada Juli 2024 menjadi Rp181,- miliar pada Juli 2025.

Komponen Kedua Belanja Negara adalah Transfer ke Daerah (TKD) yang menurun dari Rp9,783,87,- miliar (Rp9,78,- triliun) pada Juli 2024 menjadi Rp9,443,74,- miliar (Rp9,44,- triliun) atau secara absolut menurun minus 3,48 persen. Sub Komponen Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Transfer Khusus (DTK), Dana Alokasi Khusus Fisik (DAKF), serta Dana Desa mengalami penurunan dari Juli 2024 ke Juli 2025.

APBD Sulteng

Realisasi Pendapatan Daerah pada meningkat dari Rp11,275,78,- (Rp11,28,- triliun) pada Juli 2024 menjadi Rp11,304,61,- miliar (Rp11,30,- triliun) pada Juli 2025. Laju pertumbuhan realisasi Pendapatan Daerah tersebut mencapai 0,26 persen. Proporsinya menurun dari 45,31 persen pada Juli 2024, menjadi 43,98 persen pada 2025. Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada Juli 2025 mencapai Rp2,463,36,- miliar (Rp2,46,- triliun) pada Juli 2025 meningkat dari Rp1,740,26,- miliar atau pertumbuhannya mencapai 41,55 persen. Capaian ini disumbangkan oleh Pajak Daerah sebesar Rp1,696,29,- miliar atau proporsi realisasinya sebesar 68,86 persen dan meningkat dari Rp1,102,52,- miliar pada Juli 2024 atau laju pertumbuhan relatifnya mencapai 3,66 persen. Retribusi Daerah menyumbang Rp177,47,- miliar atau proporsinya 42,64 persen dari pagu sebesar Rp416,24,- dan pertumbuhan relatifnya mencapai 1,86 persen. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan meningkat dari Rp0,01,- miliar pada Juli 2024 menjadi Rp12,58,- miliar pada Juli 2025 atau mengalami kenaikan secara relatif sebesar 65,40 persen. Lain-Lain PAD yang Sah meningkat dari Rp415,41,- miliar pada Juli 2024 menjadi Rp577,03,- miliar pada Juli 2025. Proporsi Lain-Lain PAD yang Sah mencapai Rp577,03,- atau proporsinya sebesar 45,64 persen dari target sebesar Rp1.264,19,- miliar pada Juli 2025 dan pertumbuhan relatifnya mencapai 2,78 persen.

Realisasi tertinggi dalam komponen Belanja Daerah adalah Belanja Operasi mencapai Rp7,532,22,- miliar pada Juli 2025 atau proporsinya mencapai 39,57 persen dari pagu Belanja Operasi sebesar Rp19.057,66,- miliar. Capaian ini lebih rendah ketimbang realisasi Belanja Operasi Juli 2024 sebesar Rp7,828,44 atau pertumbuhannya terkontraksi sebesar minus 3,78 persen. Sub Komponen Belanja Daerah lainnya yakni Belanja Modal dan Belanja Tak Terduga, Belanja Modal mengalami kontraksi masing-masing minus 32,70 persen dari Rp962,02,- miliar pada Juli 2024 menjadi Rp647,47,- miliar pada Juli 2025. Sedangkan Belanja Tak terduga mengalami pula kontraksi dari Rp16,94,- miliar pada Juli 2024 menjadi Rp12,61,- miliar pada Juli 2025 atau terkontraksi sebesar minus 25,39 persen. Sebaliknya, realisasi Belanja Transfer mengalami kenaikan dari Rp1,307,10,- miliar (Rp1,14,- triliun) pada Juli 2024 menjadi Rp1,610,96,- miliar (Rp1,61,- triliun) atau mengalami kenaikan sebesar 23,25 persen. Komponen Pembiayaan Neto meningkat dari Rp790,90,- pada Juli 2024 menjadi Rp1,137,09,- miliar (Rp1,14,- triliun) atau mengalami peningkatan sebesar 53,47 persen. Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) meningkat dari Rp1,902,14,- miliar (Rp1,90,- triliun) pada Juli 2024 menjadi Rp2,638,45,- miliar (Rp2,64,- triliun) atau proporsinya meningkat 38,71 persen.  

Inflasi bulan Agustus 2025 tercatat sekitar 4,02 persen (yoy) atau 0,06 persen (mtm). Inflasi di Kabupaten Tolitoli mencapai 5,70 persen menjadikan inflasi tertinggi di Sulteng dari empat daerah rujukan inflasi. Makanan, Minuman dan Tembakau memberikan andil besar dalam inflasi sebesar 2,83 persen, diikuti oleh Perawatan Pribadi dan Jasa lainnya sebesar 0,59 persen, Penyediaan Makanan, Minuman dan Restoran sebesar 0,26 persen.

Pelaksanaan Makan Bergizi Gratis (MBG) saat ini dilaksanakan menggunakan mekanisme Bantuan Pemerintah dilatarbelakangi kondisi belum terbentuknya unit vertikal di daerah dan terbatasnya SDM (pengelola keuangan, PBJ, dll) pada Badan Gizi Nasional (BGN). Idealnya, pelaksanaan MBG dilaksanakan melalui belanja operasional atau belanja yang melekat pada BGN, sehingga BGN memiliki kontrol penuh terhadap pelaksanaan MBG, bukan dikewenangkan kepada penerima bantuan. Target operasi SPPG masih terus berjalan.

Kementerian Koperasi dan UMKM mencatatkan sekitar 1.968 koperasi aktif di Sulawesi Tengah per 2023. Jumlah unit koperasi terus meningkat dari tahun ke tahun. Total asset yang dikelola seluruh koperasi secara agregat mencapai Rp1,- triliun pada Tahun 2023. Pemerintah secara periodik telah mendukung penguatan kualitas usaha Koperasi melalui instrument fiskal berupa DAK Non Fisik ”Peningkatan Kapasitas Koperasi, Usaha Mikro, dan Usaha Kecil (UMKM).” Selain itu, sebagian pagu Belanja K/L turut dialokasikan untuk subfungsi ”Pengembangan Usaha Koperasi dan UMK”. DAK Non Fisik untuk penguatan koperasi terealisasikan hingga Rp6,56,- miliar pada 2024, meningkat sekitar 17,8 persen dari capaian tahun sebelumnya. Realisasi Belanja K/L turut mencatatkan sekitar Rp6,5,- miliar yang digunakan untuk pengembangan usaha koperasi dan UMK.

Luas panen padi di Sulteng mengalami penurunan pada 2023-2024. Di Tahun 2023, luas panen mencapai 177.699 Ha menurun menjadi 171.786 Ha. Hal ini terjadi pada tujuh daerah yaitu, Banggai, Poso, Donggala, Tolitoli, Buol, Sigi dan Morowali Utara; Produksi padi dalam satuan Gabah Kering Giling (GKG) Sulteng mengalami penurunan dari 821.367 ton GKG di Tahun 2023 menjadi 759.838 ton GKG di Tahun 2024. Hal ini terjadi pada Kabupaten Banggai, Poso, Donggala, Buol, Sigi dan Morowali Utara. Produktivitas lahan tanaman pangan padi mengalami penurunan dari 4,62 ton GKG/Ha pada 2023 menjadi 4,42 ton GKG/Ha pada 2024. Hal ini terjadi pada delapan kabupaten yakni Banggai Kepulauan, Banggai, Poso, Donggala, Parigi Moutong, Tojo Una-Una, Sigi, Morowali Utara. Produksi beras Sulteng mengalami penurunan dari 484.835 ton pada 2023 menurun menjadi 448.514 ton. Indeks Ketahanan Pangan (IKP) Sulawesi Tengah menunjukkan pertumbuhan pada Tahun 2022 namun menurun di Tahun 2023. IKP mencapai 75,83 poin, menjadikan Sulteng di urutan 17 secara nasional. Ketersediaan pangan di Banggai Kepulauan dan Banggai Laut perlu diperhatikan karena terus mengalami penurunan sejak Tahun 2021. Selain itu, indeks kemanfaatan—yang diukur dari Rata Lama Sekolah, stunting, harapan hidup, rasio tenaga Kesehatan, dan akses air bersih — Donggala, Tolitoli, dan Sigi perlu diperkuat. Kebijakan tariff AS menjadi isu yang sedang hangat, Indonesia dikenakan bea/tarif sekitar 19 persen, sebaliknya, Indonesia membebaskan tarif atas produk-produk impor asal Amerika Serikat. Dampaknya, potensi penurunan nilai tukar, utang negara akan terkonversi, daya beli menurun, penurunan penerimaan, pengurangan pegawai pegawai pada sektor-sektor pengekspor ke AS, kenaikan angka kemiskinan dan resesi. Dalam jangka pendek di Indonesia akan dibanjiri barang2 dari Vietnam, Kamboja dan Tiongkok sebagai pasar alternatifnya. Bagaimana dengan Komoditas Sulawesi Tengah tidak banyak yang menyasar pasar Amerika, bahkan tidak berada dalam 10 negara terbesar tujuan ekspor Sulteng. Sebagian besar di-ekspor kepada negara Tiongkok, Taiwan, dan Korea Selatan.

Pada 2026, Provinsi Sulteng akan menghadapi efisiensi sebesar Rp717,- miliar. Sepatutnya sejak saat ini Pemerintah Provinsi Sulteng mengantisipasi dengan cara menyegerakan finalisasi Rencana Strategis (Renstra) Perangkat Daerah yang tentu menjadi focal pointnya Adalah Bappeda. Pemerintah Provinsi Sulteng sesegera mungkin melakukan rapat terpadu semua OPD untuk menghitung dapat efisiensi tersebut pada anggaran masing-masing Perangkat Daerah. Pemerintah Provinsi mengurangi belanja yang justru memberikan keuntungan pada daerah lain melalui Tindakan menihilkan perjandis keluar Sulteng dan menghitungkan dampak ganda setiap kegiatan. Bagi OPD, sesegera mungkin membiasakan diri bekerja berdasarkan indicator outcome. Oleh karena itu, bappeda, BPKAD, DLHD dan Inspektorat yang Bersama-sama membina OPD Menyusun dokumen perencanaan dan penganggaran yang telah mempunyai paying regulasi tertinggi yakni Perda Nomor 1 Tahun 2025 tentang RPJMD Sulteng Periode 2025-2029. Last but not least, melakukan optimalisasi PAD sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD).

*) Guru Besar FEB-Untad  

Apa Reaksimu?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow